Merdeka


Oleh: Pay Jarot Sujarwo

Kawan, kau pernah kenal dengan seseorang yang Bernama Rib’i bin Amir As Tsaqafi? Kalau tak kenal, tak mengapa. Jarak ia hidup dengan kehidupan kita hari ini begitu jauh. Wajar kalau ia terlupakan atau bahkan tak pernah disebut sama sekali di masa kita hidup. 

Beda cerita dengan nama-nama seperti Jokowi, Luhut, Gibran, atau Airlangga Hartanto. Orang-orang ini hidup di zaman kita. Orang-orang ini setiap harinya dibicarakan di media. Malah aneh kalau tak pernah kita dengar nama-namanya. Oh ya ada lagi satu nama yang barangkali juga baru kau dengar, tapi karena ia hidup di zaman kita dan sering jadi penyebab huru-hara, maka sering juga disebut-sebut. Namanya Bahlil. Kau simak dengan seksama artikulasiku ini. Jangan sampai salah dengar. Kuulangi. Bahlil. Pakek huruf I, bukan yang lain. 

Tapi kali ini aku ingin cerita tentang Rib’I, bukan Bahlil. Kalau urusan Bahlil, biarlah ia jadi bahan cerita orang-orang serepublik ini. 

Rib’i bin Amir, ia adalah salah satu komandan terbaik yang pernah dimiliki kaum muslimin. Hidup di zaman Umar bin Khattab. Situasinya waktu itu menjelang Pertempuran al-Qadisiyyah. Sebelum pertempuran terjadi, Sa’ad bin Abi Waqash ra selaku komandan perang dari pihak Negara Islam berkali-kali mengirim utusan kepada komandan perang dari pihak Negara Persia. 

Tujuan dikirimnya utusan ini adalah dakwah. Karena memang seperti itulah syariatnya. Tidak akan pecah peperangan kecuali pihak musuh sudah diajak untuk memeluk agama Islam. Dalam ajakan tersebut, argumentasi tentang sempurnanya agama dan system Islam dalam mengatur kehidupan menjadi topik utama. Jika pihak musuh menerimanya, maka mereka akan masuk Islam dengan sukarela, dan tentu saja perang akan dibatalkan.

Tapi Islam bukanlah agama yang memaksa. Jika musuh tak mau masuk Islam, ya tidak mengapa. Tak ada paksaan. Poin perundingan berikutnya adalah membayar jizyah. Apabila jizyah ini dibayarkan maka keamanan pihak musuh akan terjaga meski mereka tetap memeluk agama lama. Jika tidak terjadi kesepakatan dalam perkara jizyah ini, barulah peperangan dilakukan. 

Begitulah, beberapa utusan dikirim kepada elite Persia. Hingga utusan berikutnya, Bernama Rib’iy bin Amir Ats-Saqafi datang kepada Rostam Farrokhzad, salah satu komandan perang terbaik yang dimiliki Persia. Dialog antara dua orang ini begitu masyur. Dicatat para sejarawan dan tersebar luas dari generasi ke generasi. 

Seharusnya kau pernah mendengar cerita ini, kawan. Ini adalah cerita bermulanya peradaban Islam mulia di era Umar bin Khattab yang pada akhirnya berhasil mengalahkan adidayanya Negara Persia. Sayang kalau waktumu habis hanya untuk nyimak cerita-cerita tentang Jokowi di sosial media yang melulu menyoal keburukan. Tebang pohon beringin lah, konflik kerudung paskibra lah, IKN menghabiskan banyak dana yang berasal dari hutang lah. Bukan, bukan aku melarangmu terlibat dari percakapan model begitu. Penting juga kita mengikuti konstelasi perpolitikan di negeri ini. Maksudku, jangan terlalu larut jika tak kita cari solusi terbaiknya. 

Baik, kita Kembali ke dialog antara Rib’iy dan Rostam sekitar tigabelas abad yang lalu. Ada satu statemen dari Rib’iy kepada Rustam dan para elitenya. Statemen ini abadi dan telah sampai kepada kita semua di hari ini. 

اللهُ ابْعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ اِلَي عِبَادَةِ رَبِّ الْعِبَادِ, وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا اِلَي سَعَتِهَا, وَمِنْ جُورِ الْأَدْيَانِ اِلَي عَدْلِ الْإِسْلَامِ

“Allah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam.” (Hr. Ath-Thabari)

Kawan, sekarang kau mulai ngeh dengan statemen ini? Rasa-rasanya kau pernah dengar? Ya, statemen ini sering dikutip para penulis saat mereka bercerita tentang makna kemerdekaan yang sebenarnya. Muncul di momen momen peringatan kemerdekaan, sekaligus pengingat kepada siapa saja bahwa merdeka yang sesungguhnya adalah terbebas dari penghambaan kepada sesame hamba menuju penghambaan kepada Allah semata. Dan itu hanya bisa ditempuh dengan jalan Islam. 

Sudahkah kita terbebas dari penghambaan kepada sesama hamba, kawan? Belum? Kalau belum berarti kita masih terjajah. Meski Jokowi menyanyikan lagu kemerdekaan dengan gegap gempita di istana baru yang belum selesai ia bikin itu. 

17 Agustus 2024



Post a Comment